Teori Belajar
secara umum semua teori belajar
dikelompokkan menjadi empat golongan atau aliran yaitu;
1. Behaviorisme
(Tingkah Laku)
2. Kognitifisme
3. Humanistik,
dan
4. Sibernetik.
1.
Aliran Behaviorisme (Tingkah Laku)
Menurut
aliran ini, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Atau perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon.
Penganut teori ini yang
terkenal yaitu;
¶ Thorndike,
Belajar
adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikran, perasaan,
atau gerakan) dan Respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan, atau
gerakan). Jelasnya perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang
konkret (dapat diamati) atau non-konkrit (tidak dapat diamati). Hanya
saja tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang
non-konkret.
¶ Watson,
Stimulus
dan respon harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable). Dengan
kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi
dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan
berarti bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak
penting, semua itu sebenarnya penting tapi faktor tersebut tidak bisa
menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Jadi penekanan
adalah proses dan hasil.
¶ Clark
Hull,
Terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus hamper selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, meskipun respon mungkin bermacam-macam
bentuknya.
¶ Edwin
Guthrie, Stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis.
Yang penting bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat
sementara.
¶ Skinner,
Deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan
tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) artinya melihat dari
berbagai faktor.
¶
2.
Aliran Kognitivisme
Teori
kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar
itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, tetapi lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Teori ini ada kesamaan dengan teori Sibernetik.
Dalam praktek, teori ini terwujud
dalam tahap-tahap perkembangan yang dimulai dari Jean Piaget, Ausubel, dan
Jerome Bruner.
a.
Jean Piaget, dengan
Belajar Bermakna-nya. Proses belajar terdiri dari tiga tahapan, yakni:
ð Proses
asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur
kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
ð Akomodasi
adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru siswa.
ð Equilibrasi
adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut
Jean Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal
ini Jean Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap Sensorimotor
(ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8
tahun), tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap
Operasional Formal (14 tahun atau lebih).
b.
Ausubel,
menurutnya siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan (belajar)” (Advance Organizer) didefinisikan dan dipersentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa (Guru harus mampu mengorganisasikannya).
c.
Bruner,
dengan teorinya “free discovery lerning”
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dsb) melalui
contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu
kebenaran umum.
Untuk memahami konsep “kejujuran”, misalnya, siswa
tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari
contoh-contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa
dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”. (Proses belajar ini berjalan
secara induktif).
Lawan dari teori atau pendekatan “Free discovery
Learning” adalah “belajar Ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam
hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan
informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh tersebut,
maka siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan
makna kata tersebut. (Proses belajar ini berjalan secara deduktif).
3.
Aliran Humanistik
Proses
belajar berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Diantara empat teori
belajar teori Humanistiklah yang paling
abstrak yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Teori
ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar
seperti apa adanya. Teori ini sangat bersifat elektrik. Teori apapun dapat
dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi
diri dan sebagainya itu) dapat tercapai.
Dalam
praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh
Ausubel yang disebut “belajar bermakna” atau Meaning-ful Learning. (Sebagai
catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan ke dalam aliran Kognitif). Teori ini
juga terwujud dalam teori Bloom dan
Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga
termasuk ke dalam teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas.
Bloom
dan Krathwohl, Menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa,
yang tercakup dalam tiga kawasan, yaitu:
a. Kognitif,
yang terdiri dari enam tingkatan:
ü Pengetahuan
(mengingat, menghafal)
ü Pemahaman
(menginterpretasikan)
ü Aplikasi
(menggunakan konsep untuk memecahkan suatu
masalah)
ü Analisis
(menjabarkan suatu konsep)
ü Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
ü Evaluasi
(membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dan sebagainya)
b. Afektif,
yang terdiri dari lima tingkatan:
ü Pengenalan
(ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
ü Merespon
(aktif berpartisipasi)
ü Penghargaan
(menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
ü Pengorganisasian
(menghubungkan-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
ü Pengamalan
(menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
c. Psikomotor,
yang terdiri dari lima tingkatan:
ü Peniruan
(menirukan gerak)
ü Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan
gerak)
ü Ketepatan
(melakukan gerak dengan benar)
ü Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan sekaligus
dengan benar)
ü Naturalisasi
(melakukan gerak secara wajar).
Taksonomi
Bloom ini, berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar untuk mengembangkan
teori belajar dan pembelajaran. Pada
tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi
pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah
dipahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, tapi
taksonomi Bloom inilah yang paling popular setidaknya di Indonesia.
Kolb,
membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, (siklus) yaitu:
a.
Pengalaman
konkrit (baru tahap sekedar ikut mengalami suatu kejadian)
b.
Pengamatan
aktif dan reflektif (observasi - mulai memikirkan kejadian)
c.
Konseptualisasi
(sudah
dapat belajar menbuat abstraksi atau teori tentang suatu hal)
d.
Eksprimentasi
aktif (sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke
situasi baru).
Honey
dan Mumford, membuat penggolongan siswa. Menurutnya
ada empat macam atau tipe siswa yakni; aktivis, reflector, teoris, dan
pragmatis.
a. Tipe
aktivis, adalah mereka yang suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru, mereka cenderung berpikran terbuka dan mudah diajak
berdialog. Tetapi cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama
dalam implementasi.
b. Tipe
reflector, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam
pengambilan keputusan cenderung “konservatif”, dalam arti mereka suka
menimbang-nimbang secara cermat baik-buruk suatu keputusan.
c. Tipe
teoris, biasanya sangat kritis,
senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subyektif. Bagi mereka berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat
penting.
d. Tipe
pragmatis, menaruh perhatian besar
pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, tapi jika tidak
bisa diperaktekkan untuk apa. Mereka tidak suka bertele-tele membahas aspek
teoritis-filosofis dari sesuatu. Bagi mereka sesuatu dikatakan ada gunanya dan
baik hanya jika bisa diperaktekkan.
Habermas,
percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan
maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi itu, ia membagi tiga macam tipe
belajar siswa yaitu; belajar teknis (technical learning), belajar
praktis (practical learning), dan belajar emansipatoris (emancipatory
learning).
- Tipe belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
- Tipe belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi lebih dipentingkan interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pemikiran tentang Alam jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
- Tipe belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transpormasi) cultural dari suatu lingkungan. Oleh Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultur ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultur inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4.
Aliran Sibernetik
Teori
belajar yang ke empat ini merupakan yang paling baru. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini, belajar adalah
pengolahan informasi. Teori ini ada unsur kesamaan dengan teori kognitif yang
mementingkan proses. Namun dalam teori Sibernetik Proses memang penting, tapi
yang lebih penting adalah “sistem informasi” yang diproses itu. Informasi
inilah yang akan menentukan proses.
Asumsi
lain dari teori Sibernetik, bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal
untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Maka sebuah informasi
mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan
informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses
belajar yang berbeda.
Dalam
bentuknya yang lebih praktis, teori ini telah dikembangkan oleh Landa
(dalam pendekatan yang disebut “algoritmik” dan “heuristik”),
Pask dan Scott (dengan pembagian siswa tipe “menyeluruh” atau “wholist”,
dan tipe “serial”, atau “serialist”), atau pendekatan-pendekatan lain
yang berorientasi pada pengolahan informasi.
Landa,
ada dua macam proses berpikir yaitu; proses berpikir algoritmik,
dan heuristik.
a. Proses
berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke
satu target tertentu.
b. Proses
berpikir heuristik, yaitu cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target
sekaligus.
Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau
masalah yang hendak dipecahkan (atau dalam istilah yang lebih teknis: Sitem
informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat
disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lebih tepat bila
disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi
dan berpikir.
Misalnya,
agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif
jika presentasi informasi tentang rumus disajikan secara algoritmik.
Alasannya adalah sebuah rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi
tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu.
Namun
untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi
(misalnya konsep “kemerdekaan”), maka akan lebih baik jika proses berpikir
siswa dibimbing ke arah yang “menyebar” (heuristik), dengan
harapan pemahan merekan terahadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis,
linier.
Pask
dan Scott, Pendekata Serialist yang disulkan oleh Pask dan
Scott itu sama dengan pendekatan algoritmik. Namun cara berpikir “menyeluruh”
(wholist) tidak sama dengan heuristik.
Cara
berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung
ke “gambaran lengkap” sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan
detil-detilnya yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu
sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan
yang berorientasi pada pengolahan informasi menekankan beberapa hal seperti;
ingatan jangka pendek (short term memory), ingatan jangka panjang (long
term memory), dan sebagainya yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam
otak kita dalam proses pengolahan informasi.
Kita
lihat pengaruh aliran Neurobiologis sangat terasa di sini, namun menurut teori
sibernetik agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara
kerja otak kita yang perlu dipahami, tapi juga lingkungan yang mempengaruhi
mekanisme itu pun perlu diketahui.
0 komentar:
Posting Komentar