Minggu, 14 September 2014

TEORI BELAJAR



Teori Belajar  secara umum semua teori belajar dikelompokkan menjadi empat golongan atau aliran yaitu;
1.      Behaviorisme (Tingkah Laku)
2.      Kognitifisme
3.      Humanistik, dan
4.      Sibernetik.

1.              Aliran Behaviorisme (Tingkah Laku)
Menurut aliran ini, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.

Penganut teori ini yang terkenal yaitu;
  Thorndike, Belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikran, perasaan, atau gerakan) dan Respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati) atau non-konkrit (tidak dapat diamati). Hanya saja tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret.
  Watson, Stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan berarti bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting, semua itu sebenarnya penting tapi faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Jadi penekanan adalah proses dan hasil.
  Clark Hull, Terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus hamper selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, meskipun respon mungkin bermacam-macam bentuknya.
  Edwin Guthrie, Stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis. Yang penting bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat sementara.
  Skinner, Deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) artinya melihat dari berbagai faktor.
   
2.             Aliran Kognitivisme
Teori kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini ada kesamaan dengan teori Sibernetik. 
            Dalam praktek, teori ini terwujud dalam tahap-tahap perkembangan yang dimulai dari Jean Piaget, Ausubel, dan Jerome Bruner.
a.      Jean Piaget, dengan Belajar Bermakna-nya. Proses belajar terdiri dari tiga tahapan, yakni:
ð  Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
ð  Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru siswa.
ð  Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut Jean Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif  yang dilalui siswa. Dalam hal ini Jean Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap Sensorimotor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap Operasional Formal (14 tahun atau lebih).
b.      Ausubel, menurutnya siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizer) didefinisikan dan dipersentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Guru harus mampu mengorganisasikannya).
c.       Bruner, dengan teorinya “free discovery lerning”
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dsb) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
Untuk memahami konsep “kejujuran”, misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”. (Proses belajar ini berjalan secara induktif).
Lawan dari teori atau pendekatan “Free discovery Learning” adalah “belajar Ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh tersebut, maka siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. (Proses belajar ini berjalan secara deduktif). 

3.             Aliran Humanistik
Proses belajar berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Diantara empat teori belajar teori  Humanistiklah yang paling abstrak yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya. Teori ini sangat bersifat elektrik. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat tercapai.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut “belajar bermakna” atau Meaning-ful Learning. (Sebagai catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan ke dalam aliran Kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori  Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas.
Bloom dan Krathwohl, Menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan, yaitu:
a.       Kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan:
ü  Pengetahuan (mengingat, menghafal)
ü  Pemahaman (menginterpretasikan)
ü  Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan  suatu masalah)
ü  Analisis (menjabarkan suatu konsep)
ü  Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
ü  Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dan sebagainya)
b.      Afektif, yang terdiri dari lima tingkatan:
ü  Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
ü  Merespon (aktif berpartisipasi)
ü  Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
ü  Pengorganisasian (menghubungkan-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
ü  Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup). 
c.       Psikomotor, yang terdiri dari lima tingkatan:
ü  Peniruan (menirukan gerak)
ü  Penggunaan (menggunakan konsep untuk  melakukan gerak)
ü  Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
ü  Perangkaian (melakukan beberapa gerakan  sekaligus dengan benar)
ü  Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
Taksonomi Bloom ini, berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar untuk mengembangkan teori belajar dan pembelajaran.  Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur.  Dari beberapa taksonomi belajar, tapi taksonomi Bloom inilah yang paling popular setidaknya di Indonesia.
Kolb, membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, (siklus) yaitu:
a.              Pengalaman konkrit (baru tahap sekedar ikut mengalami suatu kejadian)
b.             Pengamatan aktif dan reflektif (observasi - mulai memikirkan kejadian)
c.              Konseptualisasi (sudah dapat belajar menbuat abstraksi atau teori tentang suatu hal)
d.             Eksprimentasi aktif (sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi baru). 
Honey dan Mumford, membuat penggolongan siswa. Menurutnya ada empat macam atau tipe siswa yakni; aktivis, reflector, teoris, dan pragmatis.
a.       Tipe aktivis, adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru, mereka cenderung berpikran terbuka dan mudah diajak berdialog. Tetapi cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b.      Tipe reflector, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam pengambilan keputusan cenderung “konservatif”, dalam arti mereka suka menimbang-nimbang secara cermat baik-buruk suatu keputusan.
c.       Tipe teoris, biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting.
d.      Tipe pragmatis, menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, tapi jika tidak bisa diperaktekkan untuk apa. Mereka tidak suka bertele-tele membahas aspek teoritis-filosofis dari sesuatu. Bagi mereka sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa diperaktekkan.
Habermas, percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi itu, ia membagi tiga macam tipe belajar siswa yaitu; belajar teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning), dan belajar emansipatoris (emancipatory learning). 
  1. Tipe belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
  2. Tipe belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi lebih dipentingkan interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pemikiran tentang Alam jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
  3. Tipe belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transpormasi) cultural dari suatu lingkungan. Oleh Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultur ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultur inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4.             Aliran Sibernetik
Teori belajar yang ke empat ini merupakan yang paling baru. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini ada unsur kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Namun dalam teori Sibernetik Proses memang penting, tapi yang lebih penting adalah “sistem informasi” yang diproses itu. Informasi inilah yang akan menentukan proses.  
Asumsi lain dari teori Sibernetik, bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Maka sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini telah dikembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut “algoritmik” dan “heuristik”), Pask dan Scott (dengan pembagian siswa tipe “menyeluruh” atau “wholist”, dan tipe “serial”, atau “serialist”), atau pendekatan-pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan informasi.
Landa, ada dua macam proses berpikir yaitu; proses berpikir algoritmik, dan heuristik.
a.       Proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu.
b.      Proses berpikir heuristik, yaitu cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.  
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah yang hendak dipecahkan (atau dalam istilah yang lebih teknis: Sitem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lebih tepat bila disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
Misalnya, agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus disajikan secara algoritmik. Alasannya adalah sebuah rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu.
Namun untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep “kemerdekaan”), maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang “menyebar” (heuristik), dengan harapan pemahan merekan terahadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis, linier.
Pask dan Scott, Pendekata Serialist yang disulkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pendekatan algoritmik. Namun cara berpikir “menyeluruh” (wholist) tidak sama dengan heuristik.
Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke “gambaran lengkap” sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detil-detilnya yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada pengolahan informasi menekankan beberapa hal seperti; ingatan jangka pendek (short term memory), ingatan jangka panjang (long term memory), dan sebagainya yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi.
Kita lihat pengaruh aliran Neurobiologis sangat terasa di sini, namun menurut teori sibernetik agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu diketahui.

0 komentar:

Posting Komentar

 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog. Copyrights 2011.